Thursday 14 May 2015

Seorang Muslim Berkata "R.I.P." Patutkah ?

Di sebuah halaman Facebook milik Bapak Mohammad Fauzil Adhim saya menemukan catatan beliau yang sangat menarik. Dimana fenomena ini benar terjadi di sekitar kita. Tak jarang kita mengetahui bahwa rekan atau saudara kita menuliskan kata "RIP" di status social media miliknya ketika mengetahui ada seseorang yang dia kenal (sesama umat islam) meniggal dunia. Patutkah kita seorang muslim menggunakan kata "RIP" dalam ungkapan belasungkawa kita ke sesama muslim?


Mari kita baca bersama-sama catatan Bapak Mohammad Fauzil Adhim berikut ini :

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim



Istilah RIP (Requiescat in pace) merupakan bagian dari aqidah Katholik, biasa terdapat pada epitaf dan disenandungkan saat Misa Requiem. Keyakinan ini juga terdapat pada agama Yahudi. Epitaf RIP ditemukan pada nisan Bet Shearim, Yahudi, meninggal 1 Abad Sebelum Masehi.

Variasi lain Requiescat in pace atau Rest in Peace dalam bahasa Inggris adalah penambahan kata "may (semoga)". Ini terkait keyakinan dosa ditebus. Ungkapan RIP dalam bentuk ringkas maupun panjang digunakan pada upacara pemakaman tradisional Yahudi. Pijakannya adalah Talmud kuno. RIP dalam bahasa Inggris, yakni rest in peace, tidak ditemukan pada kuburan sebelum abad VIII Masehi. Meluas penggunaannya setelah abad XVIII.

Ungkapan RIP pada agama Katholik terdapat dalam Misa Requiem (Missa pro Defunctis) yang merupakan bagian dari ritus Tridente. Paus (Emeritus) Benediktus XVI menyatakan Ritus Tridente (Tridentin) merupakan bentuk misa yang luar biasa. Ia keluarkan surat edaran tahun 2007. Ini merupakan surat pribadi (motu proprio) kepada seluruh gereja untuk menggunakan Misa Tridentin. Surat ini bermakna penegasan bahwa ungkapan RIP merupakan bagian tak terpisahkan.

Motu proprio (surat pribadi dengan tanda-tangan pribadi) Paus Benediktus XVI (sekarang emeritus) menegaskan kedudukan misa yang melembaga sejak 1570 tersebut. RIP merupakan bagian penting sebagai semacam "pembersihan dosa secara keseluruhan". Dalam hal ini kedudukan RIP saat misa serupa dengan ungkapan "Allahummaghfirlahu...". Jadi, ini merupakan bagian dari prosesi ibadah. Tentu saja tak sama persis. Dalam Islam, seorang syaikh tak memiliki otoritas penghapusan dosa dan penentuan nasib seseorang jadi ahli surga.

Orang yang sudah diupacarai dengan misa dimana pernyataan RIP ada di dalamnya, dianggap sudah "bersih" dari dosa. Sudah ditebus. Jadi, ungkapan RIP memang tidak dapat dibenturkan dengan kalimat istirja' (إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ) karena memang sangat berbeda kedudukannya. Ungkapan yang berdekatan, tapi amat berbeda konsep dasarnya dengan istirja' adalah "telah berpulang ke rumah bapa...". Cermati ini agar tak gegabah menyama-nyamakan!

Orang yang tak mengimani RIP sekaligus tak percaya kepada otoritas gereja maupun pastor, tidak gunakan istilah RIP. Cukup passed away (telah berpulang) atau serupa itu. Ini menunjukkan bahwa RIP adalah masa keimanan pada agama mereka.

Apakah RIP merupakan ucapan belasungkawa semata? Tidak. Belasungkawa biasa gunakan ungkapan "in my deepest condolence (pada duka cita yang amat dalam)..." atau serupa itu. Apakah RIP merupakan produk budaya semata? Tidak. Menilik sejarah yang lebih rinci, ini merupakan konsekuensi iman & bagian dari peribadatan.

Lalu apa sebutan untuk orang yang sudah mati pada umumnya? Secara budaya, biasa disebut late (mendiang) begitu saja. Mohon maaf sekiranya saya tidak santun dalam bertutur. Nasehatilah saya. Semoga catatan sederhana tentang RIP ini bermanfaat dan barakah.

No comments:

Post a Comment