Tuesday 24 March 2015

Miris sekali Contek massal jadi budaya di India

Kemarin saya melihat berita di salah satu stasiun TV swasta, ada kejadian aneh dan tidak mendidik, dimana ini terjadi di salah satu sekolah di India. Miris melihatnya, contek massal malah menjadi budaya. kegiatan ini bukan hanya melibatkan para siswa, namun juga orang tua dan saudara para siswa. Dengan santainya mereka memberikan lembar catatan ke anak-anaknya yang sedang melangsungkan ujian, tanpa malu-malu dan bahkan sampai nekat mempertaruhkan nyawa demi kelulusan putra-putrinya. 
Mereka ramai-ramai memanjat dinding sekolahan dan melemparkan kertas berisi catatan ke kelas dimana putra dan putrinya sedang ujian, bahkan pengawas ujian yang rajin sliweran pun tidak mampu berbuat apa-apa. 
Miris saya melihatnya, apakah harus seperti itu menolong putra-putrinya agar lulus ujian? apakah itu yang namanya mendidik? Semoga hal ini tidak terjadi di negara kita ini..


berikut Link Videonya



Update : maaf ternyata linknya sudah dihapus oleh Youtube namun saya punya foto-fotonya

berikut foto-fotonya :




BPJS untuk calon bayi bisa apa tidak sih?

Sore hari tadi (24/3/2015) seperti biasa kegiatan rutin saya menjemput istri pulang kerja, tepat pukul 15 WIB istri sudah menghubungi minta di jemput.. dengan menggunakan sepeda motor matik kesayangan kami (kebetulan satu-satunya sepeda motor kami saat ini) dengan senang hati saya jemput istriku pulang kerja. Selama perjalanan yang kebetulan cukup jauh sekitar 45 menit dari kantor kerumah kami, istri bercerita banyak tentang apa yang dihadapi dikantor hari ini.

oh iya.. sebelumnya saya perkenalkan dulu ya.. Istri saya bekerja sebagai PNS di Dinas Kesehatan Kota Salatiga, ditempatkan di bagian JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dimana di dalamnya mengurusi segala program jaminan kesehatan ala pemerintah kita.

Nah tidak heran jika hari-harinya istri dihadapkan dengan hal yang aneh-aneh dari tingkah laku para pencari Jaminan Kesehatan tentunya yang ingin mendaftarkan diri sebagai perserta Jamkesda Salatiga. Mulai dari yang pake surat sakti dari Walikota/Anggota DPR, peserta yang sebenarnya mampu namun tidak malu meminta Surat Keterangan Tidak Mampu, hingga peserta yang ngeyel gak mau direpotkan dengan segala urusan birokrasi walau itu syarat mutlak dan gak harus bayar. Semua cerita itu menjadi hal yang biasa saya dengan sehari hari, namun tidak pernah kami bosan untuk membahasnya, karena selalu ada-ada saja tingkah para peserta tersebut. 

Namun dari semua cerita itu ada satu yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana jika peserta JKN tersebut (yang saat ini BPJS) melahirkan di salah satu RS, kemudian bayinya harus dirawat intensif karena indikasi medis menyatakan bahwa bayi tersebut harus dirawat lebih lama. apakah biayanya akan juga di tanggung oleh BPJS? mengingat syarat pengajuan BPJS jelas harus ada NIK,, si bayi kan belum punya NIK?

Kasus seperti ini banyak terjadi, salah satunya yang baru saja ramai diberitakan beberapa waktu lalu, pasien peserta BPJS merasa tertipu dengan tagihan rumah sakit yang mencapai puluhan juta rupiah setelah bayinya yang baru lahir harus dirawat intensif, Padahal mereka peserta BPJS dan saat masuk RS untuk melahirkan mereka menyertakan BPJS sebagai jaminan, tapi kenapa akhirnya tagihannya begitu besar??


 Alasan dari RS yang ditanggung BPJS hanya si ibu, bayinya tidak.. nah lo... ini terus solusinya gimana ??? kasihan kalau mereka ternyata tidak mampu bayar, apa bayinya mau dijadikan jaminan??

Cerita ini jelas sekali bertolak belakang dengan kejadian nyata yang kami alami sendiri. Pada tahun 2013 yang lalu istri melahirkan putra ke-2 kami dirumah, berselang 1 minggu putra kami harus di rujuk ke RS Salatiga karena ada indikasi infeksi saluran pernafasan. 6 jam diruang perawatan bayi, putra kami dipindah ke ICU, esok paginya langsung dirujuk ke RS Elisabhet Semarang, masuk ruang Piccu.

DI RS Elisabhet Semarang putra kami hanya bertahan 12 jam, sampai akhirnya dinyatakan meninggal dunia, kami menggunakan ASKES dengan kartu ibunya karena putra kami belum memiliki NIK dan akte pun belum sempat di urus. Namun begitu putra kami tetap di tanggung ASKES walau akhirnya kami teteap tombok/nambah biaya 10jt'an untuk 12 jam di Elisabeth. ada rinciannya jelas masih saya simpan sampai hari ini, totalnya lebih dari 20jt namun kami hanya membayar 50% sisanya ditanggung ASKES.

Dari kedua kasus diatas, kesamaanya adalah pasien bayi sama2 belum terdaftar dan belum memiliki NIK, namun bayi saya bisa ditanggung ASKES, parahnya bayi saya lahir secara normal dirumah bukan di RS dimana kasus yang pertama begitu mendaftar untuk melahirkan langsung menggunakan kartu BPJS namun si bayi tidak ditanggung BPJS karena alasan belum terdaftar.

Kalau dulu ASKES bisa, kenapa sekarang berganti BPJS menjadi tidak bisa? 

Pada suatu kesempatan istri pernah bertanya ke Kepala BPJS di salatiga mengenai kemungkinan calon bayi di daftarkan menjadi peserta BPJS kebetulan ada kasus yang sama di salatiga. Kepala BPJS salatiga menjawab dengan diplomatis, bahwa jika itu dilakukan kepesertaanya cacat secara hukum. Sebenarnya di luar sana banyak di gembar-gemborkan tentang sudah bisanya calon bayi yang mau lahir didaftar menjadi peserta BPJS, banyak link yang membahas itu salah satunya http://www.pasiensehat.com/  namun beliau tetap mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan, karena cacat secara hukum. Kalau mau dibahas bisa panjang dan lebar katanya. Beliau juga tidak mengetahui BPJS mana yang memulai aturan tersebut, namun yang pasti BPJS salatiga tidak berani mengambil resiko.

Yah.. saya sebagai masyarakat hanya bisa berharap semoga BPJS bisa mendapatkan jalan keluar yang tepat dan tidak melanggar hukum untuk masalah seperti ini, karena kejadian seperti ini sudah berkali kali terjadi di negara ini. Aminn...